Entri Populer

Senin, 13 Desember 2010

Sabuk Merapi

Merapi dari puncak Telomoyo
Pembangunan Jalan di Mertoyudan Magelang
Masjid dan Spanduk Peringatan
Selamatkan Aqidah
Merapi dan Petani
Tafakur Sejenak, Subhanallah


Dari Ambarawa Menuju Magelang

Merapi dari Selo

Emil bersama Ustadz M Sholikhin Pimpinan Ponpes Al-Hikmah Dukuh Pedut Cepogo Boyolali
Penduduk Sekitar Merapi sudah hafal dengan karakter Merapi, meski masih status: Awas Merapi, mereka sekarang sudah kembali ke rumah. Yuk kita bantu mereka untuk bangkit kembali.

Seperti diceritakan di edisi sebelumnya, Emil sangat khawatir dengan keadaan Ustadz Muhammad Sholikhin yang tinggal di Dukuh Pedut, Cepogo, Boyolali. Jarak dukuh itu dengan puncak Merapi hanya 3 km. Apalagi pada 2006 silam ketika Merapi meletus, beliau termasuk orang yang memutuskan tidak turun mengungsi. Hmm… kami jadi penasaran ingin tahu kondisi ustadz Sholikhin. Selain itu tujuan kami adalah untuk memberikan titipan bantuan dari pembaca Sahabat Alam, yakni dari: Jamaah masjid al-Istiqomah, Cakung dan SDIT Al-Fidaa, Setia Mekar Tambun Bekasi.

Dari Jalur Magelang-Yogya dengan mengendarai motor, kami berangkat ke Cepogo. Tapi, sebelum berangkat, Abi memantau cuaca dengan memperhatikan laporan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Menurut ramalan BMKG; Pulau Jawa akhir November dan awal Desember 2010, berpeluang hujan dengan intensitas ringan, potensi hujan sedang atau lebat di Jawa bagian barat pada siang atau sore, sedangkan malam hari cuaca cerah.

Jadi kami memang harus berhati-hati. Selain jalan berkelok, limpahan pasir dan debu bisa mengganggu perjalanan. Apalagi ada potensi hujan. Maka jas hujan dan plastik pengaman untuk barang elektronik seperti HP dan kamera harus disiapkan. 

Sampai Mertoyudan, tampak posko-posko pengungsi. Sebagian memang sudah kosong, hanya ditunggu oleh petugas relawan. Di Mertoyudan, proyek pelebaran jalan terus berlangsung. Tampak rel-rel kereta api yang tak berfungsi lagi, teronggok begitu saja. Entah akan dibawa kemana?

Dari Mungkid terus ke pertigaan Blabak, sebelum pabrik kertas, kami belok ke kiri mengarah Boyolali. Dari sini, Cepogo masih sekitar 40 km lagi. Memasuki Sawangan, tampak suasana duka masih terasa. Genangan abu, orang yang membersihkan pasir di rumah-rumah, posko pengungsi dan warga yang meminta sumbangan dari pemakai jalan. Selain itu ada relawan dan wisatawan yang hilir mudik. Spanduk-spanduk peringatan juga terpampang. Suasana inilah yang mendominasi pemandangan.

Di Sawangan ada dua pesantren, yakni Pondok Modern Darul Qiyam Gontor 6. Darul Qiyam adalah cabang Pondok Modern Darussalam Gontor yang terletak di dusun Gadingsari, desa Mangunsari, kecamatan Sawangan. Satu lagi Ponpes At-Tauhid al-Islamy, di Kapuhan Sawangan, Pimpinan KH Abdul Aziz yang juga alumni Ponpes Daarussalaam Gontor. Tampak, santriwan Ponpes At-Tauhid al-Islamy tengah bergotongroyong membersihkan pondok mereka.

Di Ketep, relawan atau wisatawan menikmati pemandangan. Petani sudah mulai mencoba ke sawah dan pedagang mulai buka toko. Penduduk sekitar Merapi yang biasa disebut daerah sabuk Merapi, memang punya ukuran sendiri kalau Merapi sudah sembuh dari batuk-batuknya. Betapa pun hidup terus berlanjut. Harus survive.

Kami tancap gas ke Wonolelo – Jrakah – Selo. Di sepanjang jalur ini Merapi masih tertutup awan. Pohon bambu yang lentur pun rebah disapu debu Merapi. Selo hingga sekarang masih merupakan daerah ring satu bahaya Merapi. 

Alhamdulillah sampai juga di Ponpes Al-Hikmah, Pedut, Wonodoyo, Cepogo. Ustadz Sholikhin menyambut kami dengan memperlihatkan rekaman erupsi Merapi yang terekam dari HP-nya. Subhanallah betapa dahsyatnya, tampak batu-batu sebesar kepala bertebaran. Belum lagi suaranya, “Seperti pesawat mau take off, tanah yang kami pijak bergetar,” tutur ustadz.

Ustadz Sholikhin bercerita, Merapi meletus pertama tanggal 26 Oktober hari Selasa, Pahing dalam tanggalan Jawa, Maghrib. Jadi ketika terdengar bunyi ”Blam!” warga dukuh Pedut di ajak ke masjid untuk zikir. Alhamdulillah sekarang mereka telah berubah. Padahal tahun 2006 lalu, ketika Merapi meletus, mereka masih memberikan sesajen. Jadi setiap ada ”Blam!” mereka lari ke masjid. Kemudian pada Senin malam, tanggal 1/11 setelah pemerintah mengharuskan masyarakat harus mengungsi, mereka yang di masjid pada bingung. Mereka tanya, ”Ini kita mengungsi atau tidak?” Lalu ditanya balik, ”Kalau sampeyan zikir saja, tenang ndak?”
”Ya ndak tenang!” jawab mereka.
“Nah kalau zikir tidak tenang ya sudah kita mengungsi. Nanti kita zikir di pengungsian,” ujar Ustadz Sholikhin menceritakan kembali kepada kami.

Tiga malam pertama waga Pedut mengungsi di Tumang, ternyata malam Jum’atnya kawasan rawan bencana meluas menjadi 15 km. Nah tumang itu termasuk kawasan 11 km. Jadi, tidak hanya pengungsi dari Cepogo atas, tapi penduduk Tumang pun harus diungsikan juga. Total ada 7000 jiwa yang harus diungsikan.

Bayangkan 7000 jiwa harus dievakuasi dalam waktu bersamaan. Ketika di pengungsian pikiran pun berkembang, mengungsi berapa lama? Setelah pulang makannya bagaimana? Karena yang mengungsi 90% petani, sedangkan jangankan tanaman, tanahnya pun sudah rusak. Masyarakat butuh sembako.

Almarhum Mbah Maridjan tinggal di Cangkringan yang letaknya di barat laut, sedangkan Ustadz Solikhin di timur laut jadi berseberangan. Pada 2006 keduanya tidak mengungsi. Menurut perhitungan Ustadz Sholikhin, Karena arah letusan tidak mengarah ke dusunnya dan tingkat bahayanya tidak ada. Itu hanya letusan biasa yang tidak menimbulkan eksplosif. Jadi tidak asal, ada perhitungannya. Bukan semata mistik.  

Ustadz Sholikhin, berusaha warga itu tidak terjebak ke mistik. karena mistik dengan ghaib itu berbeda. ”Alhamdulillah, meski tiga kilo dari puncak tidak parah. Kita langsung bisa bercocok tanam,” tuturnya optimis.      
              
Setelah urusan memberikan sumbangan selesai, kami pun pamit. Pasar Cepogo sudah ramai dengan penjual sayur, sehingga jalan pun agak tersendat. Memasuki Selo, Merapi tampak kelihatan dengan penuh. Abi sempat bertanya pada penduduk yang melintas, saking tidak percayanya. Beberapa kendaraan yang melintas pun berhenti sejenak untuk berfoto ria. Kami pun tergoda untuk melakukan hal yang sama. Pemandangan yang indah ini hanya sekejap, sekitar 15 menit kemudian Merapi kembali sembunyi di balik awan.   

Alhamdulillah, semua orang yang kami kunjungi sehat wal afiat.

Tapi, perubahan memang begitu cepat. Belum sepekan dari kunjungan kami, sms dari ustadz Sholikhin mengabarkan, ”Laporan Susulan. Jembatan Wonopedut di kali Gandul, yang sampai tadi pagi masih bisa dilewati roda dua, tadi jam 15.20 ambrol. 870 warga pedut dan 250 warga Sidopekso terisolir. Jalur tersebut adalah  jalur perekonomian dan jalur evakuasi. A/n warga M. Solikhin.”

Itu jembatan yang biasa kami lewati untuk menuju Ponpes al-Hikmah. Kenapa bisa ambrol?

”Kena banjir lahar dingin. Jembatan dan saluran air hancur semua,” sambung sms ustadz Sholikhin.

Merapi masih berstatus awas. Jadi kekhawatiran itu belum lenyap. Kepada Allah Penguasa alam raya dan seisinya kami bertawakal.       

             
Box :
Dalam perjalanan ke Cepogo, di Mertoyudan Tim Sahabat Alam melihat rel kereta api yang sudah tak terpakai. Kemana ya sekarang kereta-kereta itu? Ikuti edisi depan ya. Eh jawab pertanyaan ini dulu, apa nama tempat untuk benda kuno bersejarah? Kalau sobat eL-Ka teliti, jawabannya ada dalam rubrik ‘Sahabat Alam’.

Bagi Tiga pengirim pertama yang mengirimkan jawaban dengan benar, akan mendapat bingkisan menarik. So kirim jawaban kamu secepatnya melalui kartu pos disertai kupon ke redaksi eL-Ka: Majalah SABILI, Jalan Cipinang Cempedak III No. 11A Polonia, Jakarta Timur 13340

Tidak ada komentar:

Posting Komentar