Entri Populer

Senin, 31 Januari 2011

Museum Sudirman Kota Magelang Panglima Besar di Museum Mini





Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya.
Kota Magelang memiliki beberapa objek wisata museum, diantaranya Museum Bumi Putera, Museum Abdul Djalil, Museum BPK, Museum Diponegoro, serta Museum Sudirman. Dari jumlah tersebut hanya satu museum yang pengelolaannya berada di bawah Pemerintah Kota Magelang, yaitu Museum Sudirman.

Sob tahu, ternyata dulu museum ini digunakan sebagai rumah peristirahatan tentara yang pada masa perang kemerdekaan merupakan kediaman Jendral Sudirman, Panglima Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang pertama atau sebagian bapak Tentara Indonesia. Namun, sejak tahun 1976, gedung ini  dialih fungsikan sebagai Museum Jendral Sudirman.

Bangunan yang berdiri sekitar tahun 1930 tersebut, terdiri dari rumah utama dan ruang-ruang penunjang (service area) yang berada di belakang. Di belakang bangunan utama terdapat deretan kamar-kamar pejuang seperti, kamar Soepardjo Roestam ajudan Jenderal Sudirman, kamar mandi dan dapur. Sebagian diantaranya masih dalam tahap penyempurnaan, terdiri atas perpustakaan, beberapa wisma tamu, dan kamar mandi. Nah, kalau nanti bangunan ini selesai dilengkapi, barangkali suasana museum akan bertambah semarak ya Sob.

Museum ini menyimpan banyak cerita tentang kehidupan Jenderal Sudirman sebagai seorang suami dan ayah serta pemimpin tertinggi dalam kemiliteran. Seorang Jenderal yang tidak pernah menyerah pada penjajahan Belanda bahkan oleh penyakit yang dideritanya meski akhirnya harus menghembuskan nafas terakhirnya pada 29 Januari 1950 di Rumah Peristirahatan Tentara Badaan, Magelang.

Bagi masyarakat Magelang dan sekitarnya yang barangkali pernah mendengar atau mungkin malah pernah berkunjung ke sini, museum ini memang tergolong mini terletak di Jalan Ade Irma Suryani No C-7 atau tepat di sudut selatan Taman Badaan.

Kenapa di Magelang ya? Ini ngga lepas dari sejarah perkembangan tentara kita di masa revolusi. Bahkan jauh di masa awal pemerintahan kolonial Belanda, Magelang sudah menjadi kawah “candradimuka” penggodokan bagi calon tentara.

Magelang adalah kota terakhir perjuangan Panglima Besar (Pangsar) Sudirman, setelah pengembaraan gerilyanya di seputaran Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Paska Agresi Militer Belanda II pada tahun 1949, Sudirman yang kemana-mana ditandu karena sakit paru-paru akut bersedia dirawat di Magelang. Kemudian atas kehendak-Nya jua ia menghembuskan nafasnya pada bulan Januari 1950 di Bumi Tidar. Nah, gedung yang saat ini menjadi museum adalah rumah tempat almarhum wafat.

Sayangnya, museum nampak lengang dari aktifitas kunjungan. Sepinya pengunjung di museum ini, bisa jadi karena ketidaktahuan masyarakat, atau memang kesadaran masyarakat yang rendah akan penghargaan terhadap sejarah bangsanya. Padahal letak Museum Sudirman sangat strategis, lho. Di depannya ada Taman Badaan yang selalu rame pengunjung. Atau, mestinya pengelola bekerjasama dengan sekolah-sekolah untuk bergiliran mengunjunginya. 

Mengenal Sudirman

Hmm... siapa tak kenal nama Sudirman, Sang Panglima Besar TNI. Sejak SD kita sudah mendengar tekad dan semangat jiwa patriotisme tokoh tentara ini. Sudirman dilahirkan pada hari Senin, tanggal 24 Januari 1916 di Purbalingga, Banyumas. Beliau adalah putra dari Bapak Karsidi Pawiradji dan simbok Siyem. Karena keterbatasan ekonomi, ia kemudian diambil sebagai anak angkat oleh R Cokrosunaryo, Camat Rembang, Purbalingga. Atas bantuan orang tua angkatnya itulah Sudirman kecil bisa mengenyam dunia pendidikan.

Sudirman mengawali masa sekolahnya di HIS Gubernemen Purwokerto sampai kelas VII. Ia kemudian meneruskannya di pawiyatan Taman Siswa dan Wiworo Tomo karena kepindahannya ke Cilacap hingga lulus. Pendidikan MULO dijalaninya di Wiworo Tomo. Sudirman kecil menyukai petualangan. Ia memang termasuk siswa yang aktif dalam kegiatan di Hizbul Wathoni (Pramuka), sebuah organisasi kepanduan di bawah Muhammadiyah. Setelah  sekolahnya selesai,  ia kemudian mengabdikan diri sebagai guru di HIS Muhammadiyah Cilacap. Bahkan Pak Dirman pernah menjabat sebagai kepala sekolahnya.

Kedatangan Jepang di tanah air menyebabkan Sudirman ikut memanggul senjata bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA). Bahkan ia diangkat sebagai Daidanco PETA di Kroya. Di akhir pendudukan Jepang, ia diasingkan ke Bogor.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan beliau diangkat sebagai Kepala BKR Karesidenan Banyumas. Pada 5 Oktober 1945 diangkat sebagai Kepala TKR Banyumas Divisi V Purwokerto dengan pangkat Kolonel. Ia pun kemudian terpilih menjadi Pangsar TKR pada 12 November 1945 berpangkat Jenderal peletak dasar-dasar moral, mental, serta kepemimpinan dan kepribadian TNI.

Jendral Sudirman yang akrab dipanggil Pak Dirman ini terpilih karena terkenal sebagai komandan tentara yang bijak dan bersikap kebapakan. Sikap ini sudah ditunjukkan jauh sebelum ia menjadi tentara. Setamat pendidikan guru di HIK Mohammadiyah Solo tahun 1934, ia menjadi Kepala SD Mohammadiyah di Cilacap, sebelum Jepang menyerbu Indonesia. Sebagai kepala sekolah, ia bersikap terbuka, mau mendengarkan pendapat orang lain, dan selalu siap memberi jalan pemecahan terhadap setiap masalah yang timbul di kalangan para guru. Majalah Forum Keadilan edisi 9 Januari 2000 menyebutkan ia menjadi tenaga pengajar di sekolah menengah Mohammadiyah Cilacap, di mana ia juga aktif di organisasi Kepanduan Islam Hizbul Wathon.

Sudah sejak belia keteguhan hati Sudirman terpancar. Suatu malam di tengah dinginnya udara malam pegunungan Dieng, sekelompok pemuda Kepanduan Hisbul Wathon sedang berkemah. Ketika banyak rekannya yang meninggalkan perkemahan karena udara dingin yang menusuk, sebagai pemimpin kepanduan, Sudirman bertahan sampai pagi.

Jendral Sudirman adalah sosok patriotisme yang tidak kenal menyerah. Walau pun dalam keadaan sakit dan harus ditandu, sebagai Panglima Besar beliau menanamkan semangat juang yang tinggi dan secara langsung memimpin perang gerilya. Dengan adanya perlawanan yang tidak kenal menyerah itu akhirnya membuat Belanda meninggalkan Indonesia. Wah, semangat beliau patut di contoh ni Sob!


Mengenang Jejak

Pertempuran heroik yang pernah dipimpinnya diantara lain adalah Pertempuran Ambarawa dan Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Dalam kles kedua tersebut, ia memilih memimpin gerilya dengan keluar masuk hutan, turun naik gunung dan jurang daripada menyerah kepada Belanda, meskipun dalam keadaan sakit parah. Ia pernah dirawat di RS Panti Rapih, sebelum kemudian beristirahat di Magelang.

Tanggal 7 Mei 1949 ditandatangani pernyataan bersama Roem-Van Royen untuk menyelesaikan konflik bersenjata di meja perundingan. Dengan demikian, usai sudah perang antara Republik Indonesia dan Belanda. Panglima Sudirman memasuki kota Yogya lagi dari desa Ponjong tanggal 9 Juli 1949, setelah berfoto bersama dengan pembawa tandu terakhir yang dipakai menyeberangi Kali Opak dekat Piyungan.
Pada tanggal 27 Desember 1949, pemerintah Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia. Sayang, Pak Dirman tidak dapat menyaksikan hasil perjuangannya lebih lanjut. Kuman tuberkulosis yang semakin menggerogoti paru-parunya selama ia berbulan-bulan masuk keluar hutan akhirnya mengalahkannya. Pada tanggal 29 Januari 1950, beliau  meninggal dunia di Rumah Peristirahatan Tentara Badakan, Magelang. Pahlawan Kemerdekaan Nasional ini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.

Sudirman meninggalkan enam orang putra putri yang masih kecil saat itu. Keenam putra-putri beliau adalah Achmad Tidarwono, Didi Pratiastuti, Didi Suciastuti, Taufik Efendi, Didi Prijiati, dan Titi Wahyu Setyaningsih.

Biografi
Nama        : R.Sudirman
Lahir    : Senin,24 January 1916 atau dalam penanggalan Jawa 18 Maulud 1846 di Wuuku Galungan, Desa Bantar Barang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga.
Keluarga    : Istri: Siti Alifah, lahir : Senin 28 Desember 1920.  Putri: Mr.Sastroatmojo dari Cilacap.
                        Mereka mempunyai 3 anak laki-laki dan 4 perempuan.
Pendidikan    : HIS Mulo Wiwowro Tomo di Cilacap. Aktif dalam Kepanduan Bangsa Indonesia/KBI dan Hizbul Wathon/ HW
Meninggal    : Ahad 29 January 1950 pukul 18.30 WIB dalam usia 34 tahun Dimakamkan diPemakaman  Milliter Semaki Yogyakarta

Bintang Jasa Kehormatan/Kenegaraan :
•    Bintang RI Adipurna
•    Bintang RI Adipradana
•    Bintang Mahaputra Dipurna
•    Bintang Sakti
•    Bintang Gerilya,bintanag-bintang dan empat lencana-lencana. Kartika Eka Paksi Tingkat I. sebagai penghormatan atas jasa-jasa maka pada waktu wafat, pangkatnya dinaikan menjadi Jendral

Selasa, 18 Januari 2011

SDIT Baiturahman Sukapura, Setiap Jumat Hari Berinfak



Sob Elka, adik-adik kita di SDIT Baiturrahman Sukapura meski masih SD kepedulian mereka sama saudara-saudara kita yang tertimpa musibah erupsi Gunung Merapi ternyata enggak kalah dengan kakak-kakaknya. Mereka berhasil menggalang dana jutaan, sebagian dibagikan lebih dulu lewat PKPU. Kali ini, Kamis 13/01 mereka mengundang SAHABAT ALAM untuk datang ke markasnya, wah ternyata mereka menitipkan uang sebesar 2.472.000 (dua juta empat ratus tujuh puluh dua ribu rupiah). “Uang ini hasil pengumpulan uang saku mereka, kami menetapkan setiap Jumat adalah hari berinfak,” bilang Pak Khaerudin, SPd Kepsek SDIT Baiturrahman sambil menunjukkan celengan infak. Wah perlu ditiru neh semangat berinfak mereka. 

Nah bagi  sobat yang mau bekerjasama bareng SAHABAT ALAM bisa hubungi kami di 021-33413279 ato imel alamsahabat3@gmail.com buka deh blognya  http://sahabatalam3.blogspot.com/  eh di http://sabili.co.id/sahabat-alam/sdit-baiturahman-sukapura-setiap-jumat-hari-berinfak   juga ada. (Eman Mulyatman) 

Kamis, 13 Januari 2011

Suroloyo Sekali Naik Lima Puncak Terlampaui








Tempat pertapaan Sultan Agung memberi Sob kesempatan meneropong empat gunung besar di Pulau Jawa, Candi Borobudur plus pemandangan matahari terbit

Kalau kamu enggak keduluan sama embun pagi yang berhamburan diterpa sinar matahari pagi, kamu bisa melihat empat gunung besar di Pulau Jawa, yaitu Merapi, Merbabu, Sumbing dan Sindoro menyembul di antara kabut putih. Satu puncak lainnya yang bisa kamu nikmati dari balik kabut putih itu adalah stupa puncak Candi Borobudur yang tampak berwarna hitam muncul di permukaan lautan kabut.

Jadi kamu harus berangkat pagi-pagi sekali. Harus kuat mengalahkan tarikan selimut pukul dua dinihari. Tapi semua itu akan tertebus ketika sampai di puncak Suroloyo. Puncak Suroloyo adalah bukit tertinggi di Pegunungan Menoreh yang berada pada 1.091 meter di atas permukaan laut. Oya, pegunungan Menoreh ini juga sering menjadi setting kisah-kisah fiksi dalam dunia persilatan lho.

Untuk menikmatinya, kamu harus melewati jalan berkelok tajam serta menaklukkan tanjakan yang cukup curam. Dua jalur bisa dipilih, pertama rute Jalan Godean - Sentolo - Kalibawang dan kedua rute Jalan Magelang - Pasar Muntilan - Kalibawang.

Setelah berdoa, jangan lupa siapkan fisik supaya prima. Tapi, jangan khawatir, jalan ke puncak bisa pakai motor atau mobil kok.  Maka siapkan kendaraan yang berisi bahan bakar penuh. Eit jangan lupa ban serep. Karena kayaknya gak ada deh tukang tambal ban di gunung.

Setelah berjalan kurang lebih 40 km, kami menemui papan penunjuk ke arah Sendang Sono. Berbelok ke kiri untuk menuju Puncak Suroloyo, kami tergoda untuk menikmati pemandangan. Sementara Mas Sulhan, salah seorang relawan Borobudur yang menjadi guide kami, meminta kami berjalan terus sejauh 500 meter hingga menemui pertigaan kecil.

Nah ketika asyik berfoto, seorang petani menyarankan agar kami berbelok ke kiri karena jalannya lebih halus. Dari situ, kamu masih harus menanjak lagi sejauh 15 km untuk menuju Puncak Suroloyo.

Bukit Suroloyo ditandai dengan terlihatnya tiga buah gardu pandang yang juga dikenal dengan istilah pertapaan, yang masing-masing bernama Suroloyo, Sariloyo dan Kaendran. Suroloyo adalah pertapaan yang pertama kali dijumpai.

Letih dan lelah setelah melahap 286 anak tangga dengan kemiringan 30-60 derajat akan tertebus setelah sampe puncak. Dari puncak, kamu bisa melihat Candi Borobudur dengan lebih jelas, Gunung Merapi dan Merbabu, serta pemandangan kota Magelang bila kabut tak menutupi.

Pertapaan Suroloyo merupakan yang paling legendaris. Menurut cerita, di pertapaan inilah Raden Mas Rangsang yang kemudian bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo bertapa untuk menjalankan wangsit yang datang padanya. Dalam kitab Cabolek karya Ngabehi Yosodipuro yang ditulis pada abad 18, Sultan Agung mendapat dua wangsit, pertama bahwa ia akan menjadi penguasa tanah Jawa sehingga mendorongnya berjalan ke arah barat Kotagede hingga sampai di Pegunungan Menoreh. Kedua, bahwa ia harus melakukan tapa kesatrian agar bisa menjadi penguasa.

Menuju pertapaan lain, kamu akan melihat pemandangan yang berbeda pula. Di puncak Sariloyo yang terletak 200 meter barat pertapaan Suroloyo, kamu akan melihat Gunung Sumbing dan Sindoro dengan lebih jelas. Sebelum mencapai pertapaan itu, kamu bisa melihat tugu pembatas propinsi DIY dengan Jawa Tengah yang berdiri di tanah datar Tegal Kepanasan. Dari pertapaan Sariloyo, bila berjalan 250 meter dan naik ke pertapaan Kaendran, kamu akan dapat melihat pemandangan kota Kulon Progo dan keindahan panati Glagah.

Ngomong-ngomong untuk apa ya Sahabat Alam ke Suroloyo? Ya, memang kita tidak boleh terjebak oleh mitos. Bisa musyrik. Menurut Ustadz Muslih yang tinggal di desa Wono Kriyo, sebuah desa yang tak jauh dari Suroloyo, cerita itu hanya jadi kenangan masa lalu. Sekarang penduduk sekitar Suroloyo adalah muslim. ”Acara-acara sesajen sudah berganti menjadi istighosah,” ungkapnya.

Mungkin Sob sudah khatam dengan cerita Api dibukit Menoreh dan Naga Sasra Sabuk Inten. Tapi, bukan berarti pertarungan itu sudah selesai. Setiap saat aqidah kaum muslimin bisa terancam. Selain kemiskinan juga kurangnya informasi (baca: kebodohan) menjadi sarana tepat aksi-aksi pemurtadan.

Ustadz Muslih yang kami temui tengah bersiap untuk mengikuti Daurah (training) anti pemurtadan bersama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Daurah ini berlangsung di Masjid Ruhul Islam. Memang pasca erupsi Merapi, warga sekitar sabuk Merapi akidahnya terancam.

Setelah menikmati Getuk asli bikinan ibu Muslih, kami pun pamit. Perjalanan kami sejenak terhenti. Kami mengaso di masjid Ruhul Islam. Kamu tahu sejarah masjid Ruhul Islam? Menurut keterangan Bapak Ustadz Imam Santosa, sekretaris DDII Magelang, masjid Ruhul Islam dibangun oleh Almarhum M Natsir – pendiri DDII. Masjid ini tak jauh dan seakan dibangun berhadap-hadapan dengan sekolah Taruna Nusantara yang didirikan oleh Almarhum Benny Moerdany.

Wah, jadi pertarungan ideologi ini masih terus berlangsung ya. Karena itu kamu harus giat belajar dan mengerti sejarah. Agar kamu tidak jadi orang-orang yang kalah. Jangan sampai anak cucu kita bilang, wah itu Istiqlal hasil karya nenek moyang kita. Seperti kita memandang Borobudur saat ini. (Eman Mulyatman)

Rabu, 05 Januari 2011

Nostalgia Museum Kereta Api Ambarawa






Kereta Api Tak Sekadar Alat Tranportasi

Naik Kereta Api tut tut tut, wah lagu itu sudah ga cocok lagi ya. Kereta sekarang kan pakai diesel atau listrik. Tapi di Ambarawa masih ada lho kereta api uap. Jadi kita masih bisa denger tut tut tut...

Setelah tiga edisi berturut-turut menulis tentang Merapi, Sahabat Alam kali ini membawa sobat eL-Ka bernostalgia ke Museum Kereta Api Ambarawa. Museum kereta api Ambarawa ini terletak 37 km dari Semarang, 81 km dari Yogyakarta dan 63 km dari Solo. Beberapa kali memang kami melewati jalur ini, tapi baru terpenuhi sekarang. Apalagi kalau mengklik search engine di internet, wah banyak sekali berita tentang museum KA Ambarawa ini.

Tapi jangan terkecoh, Situs aslinya adalah, http://www.indonesianheritagerailway.com. Diluncurkannya situs ini untuk meningkatkan ketertarikan masyarakat kepada kereta tua dan menyajikan informasi tentang koleksi artefak-artefak bersejarah kereta api di Indonesia.

Situs dengan motto "Lestarikan Kereta Api" tersebut secara teknis didesain dengan prinsip kemudahan untuk diakses dan menarik pengunjung. "Situs ini dibangun oleh komunitas pencinta kereta api. Ini milik kita semua," kata Ella seperti dikutip dari situs pecinta kereta api, http://www.semboyan35.com/.
di sebelah kiri layar ada menu yang berinformasikan tentang unit organisasi pusat pelestarian benda dan bangunan PTKA, program-program kegiatan, berita-berita terkait pelestarian kereta api serta komunitas pelestarian kereta api. Sedangkan di sebelah kanan ada menu tentang benda dan bangunan kereta api seperti stasiun, bangunan, konstruksi, jalan rel, persinyalan, telekomunikasi, sarana, museum, gallery dan arsip tua.

"Indonesia memiliki 600 bangunan stasiun sebelum tahun 1939. Benda-benda seperti kereta dan lokomotif ada 146 unit yang tersebar dari Sumatera Utara dan Jember. Kita juga memiliki tiga lokasi museum kereta api, yang terbesar di Ambarawa," kata Ella.

KA Uap Masuk Museum
Sejak tahun 1953, DKA (Djawatan Kereta Api) mulai mengganti peran lokomotif uap dengan lokomotif diesel; sehingga memasuki tahun 1970, lokomotif uap mulai masuk era barang antik seiring tidak lagi diproduksi oleh pembuatnya di Eropa maupun di Amerika. Oleh karena itu muncul ide untuk mengumpulkan sejumlah lokomotif uap ke museum.

Pada 8 April 1976, Ir Soeharso (Kepala Eksploitasi Tengah PJKA/Perusahaan Jawatan Kereta Api) bertemu Soepardjo Roestam (Gubernur Jawa Tengah) untuk membahas rencana pembangunan museum kereta api serta berinisiatif mengumpulkan lokomotif uap dan menyimpannya di Stasiun Ambarawa. Kepala Eksploitasi Tengah PJKA membentuk panitia yang bertugas mengumpulkan materi museum dan kemudian mengajukan konsep rencana kerja kepada Gubernur Jawa Tengah pada tanggal 18 Mei 1976.

Pada 6 Oktober 1976, Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Tengah meninjau bakal lokasi museum kereta api di stasiun Ambarawa dan menyetujui rencana pembangunan museum tersebut.

Pada akhir 1976, terkumpul sejumlah 22 lokomotif uap yang menjadi koleksi museum ini. Stasiun Ambarawa resmi berfungsi museum sejak 21 April 1978 dan diresmikan oleh Rusmin Noerjadin (Menteri Perhubungan Republik Indonesia) dengan menikmati paket tour kereta wisata bergerigi bersama rombongan.

Suasana museum ini masih menunjukkan suasana stasiun kereta api jaman dulu, yang masih terjaga dan terawat rapi. Berada didalam stasiun kereta api rasanya seperti kembali ke suasana tempo dulu, pengunjung dapat melihat kantor kepala stasiun, ruang tunggu, loket peron, peralatan komunikasi, topi masinis, alat pembolong tiket, stempel, mesin ketik, jam kuno, perabot meja kursi tempo dulu dan sebagainya.

Untuk masuk ke dalam museum ini kita cukup membayar Rp. 5000. Pertama kali masuk ke museum ini kita akan menjumpai sebuah penggalan roda dan rel kereta api bergigi yaitu suatu bangunan rel kereta api yang digunakan untuk jalan menanjak. Kayaknya rel ini di Indonesia hanya ada di Ambarawa). Di belakangnya ada bangunan stasiun kuno bertuliskan WILLEM I. Ada 21 buah lokomotif baik yang berbahan bakar kayu maupun batu bara tampak tertata dengan rapi di museum ini. Setiap pengunjung dapat naik dan melihat kedalam ruang masinis lokomotif ini untuk melihat instalasi bahan bakar dan ruang kemudi lokomotif-lokomotif tua ini.

Sayang museum kurang dikelola dengan baik. Kereta dibiarkan berada di ruang terbuka, kehujanan dan keanginan sehingga bisa mempercepat kerusakan. Apalagi Ambarawa termasuk daerah lembab. Selain itu perlu adanya keberadaan pemandu yang menjelaskan tentang KA uap. Bukankah kereta api bukan sekadar transportasi? Tapi juga sebagai alat perjuangan merebut kemerdekaan.

Memasuki ruang galeri (dulunya ruang pegawai kereta api) kita dapat menyaksikan benda-benda kuno peninggalan jaman Belanda lainnya seperti pesawat telegram morse, pesawat telepon kuno, stempel pejabat stasiun kereta api jaman Belanda, dan berbagai macam koleksi lainnya.

Selain koleksi-koleksi kuno tersebut kita juga bisa menikmati perjalanan wisata dengan rute Ambarawa – Bedono menggunakan kereta kuno yaitu menggunakan kereta wisata bergigi yang berbahan bakar kayu jati. Untuk menikmati perjalanan selama kurang lebih 2 jam ini kita harus mencharter kereta tersebut seharga Rp 3.250.000, - .

Bagi Sahabat yang tidak punya cukup uang, tidak usah kecil hati kamu bisa menikmati wisata kereta yang lain yang tak kalah serunya yaitu Lori Wisata jurusan Ambarawa – Tuntang. Untuk menikmati perjalanan wisata ini, Sahabat hanya cukup merogoh kocek sebesar Rp. 10.000,-. Berbeda dengan kereta jurusan Ambarawa – Bedono Lori Wisata Ambarawa – Tuntang ini tidak bergigi dan berbahan bakar bensin.

Begitu lori dengan kecepatan kurang dari 50 km/jam ini keluar dari stasiun Ambarawa, kita akan menjumpai perkampungan penduduk. Kita dapat menyaksikan berbagai macam aktifitas warga disekitar rel ini. Ada yang menarik dari kereta ini, dalam lori ada orang yang bertugas sebagai pengatur lalu lintas yaitu setiap akan menjumpai perempatan orang ini turun berlari ke perempatan tersebut untuk menghentikan kendaraan yang akan lewat.

Lori Wisata Ambarawa - Tuntang
Setelah keluar dari perkampungan mata kita akan dibuai oleh indahnya hamparan sawah dan pemandangan pegunungan Ungaran, Andong dan Merbabu. Tak hanya itu beberapa menit kemudian kita akan melewati Rawa Pening. Di sini kita dapat menyaksikan orang-orang memancing sambil mengendarai perahu-perahu kecil. Ada juga perahu-perahu besar yang digunakan untuk mengambil sedimentasi eceng gondok di rawa ini.

Setelah setengah jam perjalanan kita akan sampai di Stasiun Tuntang. Disini kita akan menyaksikan stasiun kecil yang bergaya arsitektur Eropa Kuno. Disini Lori hanya akan berhenti sebentar dan kemudian balik lagi ke Stasiun Ambarawa.

PT Kereta Api (Persero) menyediakan 2 (dua) kereta api wisata di Ambarawa. Pertama, kereta wisata rute Ambarawa - Bedono (9 km) yang ditarik lokomotif uap bergigi B25 02 atau B25 03. Yang menariknya, kedua kereta penumpang ini berdinding kayu. Di dinding kereta penumpang tidak ada kaca jendela sehingga penumpang dapat menikmati semilir angin nan sejuk dan indahnya pemandangan selama dua jam perjalanan.

Jalur kereta api rute Jambu - Bedono ini berada di ketinggian 693 meter di atas permukaan air laut. Panorama di sepanjang perjalanan semakin luar biasa. Hamparan Gunung Ungaran dan Gunung Merbabu menjadi latar belakang yang mempesona. Karena letaknya yang cukup tinggi inilah di sepanjang rute Jambu - Bedono ini terdapat rel bergerigi. Fungsinya adalah untuk menahan agar kereta api tidak mengalami kesulitan menanjaki jalur tersebut.

Palagan Ambarawa
Ingat Palagan Ambarawa? Hem ya, di pertigaan Ambarawa sebelum masuk museum kamu akan disuguhi pemandangan heroik museum Palagan Ambarawa. Mengutip dari situs bapak-bapak kita di TNI Angkatan darat, www.tniad.mil.id/1palagan_ambarawa.php, peristiwa Palagan Ambarawa merupakan peristiwa penting karena merupakan peristiwa pertempuran yang pertama kali dimenangkan bangsa Indonesia setelah kemerdekaan. Peristiwa tersebut menjadi momentum bersejarah dalam  pergelaran militer dengan gerak taktik pasukan darat. Berdasarkan kemenangan yang gemilang dalam Palagan Ambarawa tersebut, selanjutnya setiap tanggal 15 Desember diperingati sebagai Hari Infanteri dan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 163  tahun 1999 diabadikan menjadi " Hari Juang Kartika ". di museum ini juga ada kereta yang bertuliskan heroik. “Merdeka ataoe Mati!”

Kota Ambarawa sejak jaman hindia Belanda merupakan daerah militer, sehingga Raja Willem I berkeinginan untuk mendirikan bangunan stasiun kereta api guna memudahkan mengangkut pasukannya untuk menuju Semarang. Maka pada 21 Mei 1873 dibangunlah stasiun kereta api Ambarawa dengan luas tanah 127. 500 meter persegi.

Masa kejayaan stasiun Ambarawa yang lebih dikenal dengan sebutan WILLEM I, dihentikan pengoperasiannya sebagai Stasiun Kereta api dengan jurusan Ambarawa – Kedungjati – Semarang. Dan tahun 1976 untuk lintas Ambarawa – Secang – Magelang juga Ambarawa – Parakan – Temanggung.

Dengan ditutupnya Stasiun KA Ambarawa, maka pada 8 april 1976 gubernur Jawa Tengah Bapak Soepardjjo Rustam bersama kepala PJKA Eksploitasi Soeharso memutuskan Stasiun Ambarawa dijadikan musem kereta api, dengan mengumpulkan 21 buah lokomotif yang pernah andil dalam pertempuran khusunya mengangkut tentara Indonesia. Yuk naik kereta.


BOX
Kereta bergerigi
Jalur kereta api rute Semarang–Tanggung-Kedung Jati-Solo–Yogyakarta selesai dibangun dengan susah payah oleh NIS (Nederlandsch-Indische Spoorwegmaatschappij) dan beroperasi pada tanggal 10 Juni 1872, termasuk lintas cabang Kedungjati-Tuntang-Ambarawa selesai dibangun pada tahun 1873. Bangunan Stasiun Willem I (atau yang lebih dikenal dengan stasiun Ambarawa) dibuat dari kayu dengan luas areal 127500 meter persegi dan resmi dioperasikan pada 21 Mei 1873. Jalur Kereta Api dari Jambu menuju Gemawang harus melewati bukit yang terjal (kemiringan topografi 65 derajat). Untuk menghemat biaya, dibangunlah rel bergigi dan membeli lokomotif uap bergigi yaitu seri B25. NIS melanjutkan pembangunan jalur kereta api dari Ambarawa ke Secang (termasuk rel bergigi rute Jambu-Bedono-Gemawang sepanjang hampir 6.5 kilometer) dan resmi beroperasi sejak tanggal 1 Februari 1905. Di jalur ini, tujuan transportasi kereta api untuk kegiatan militer lebih diutamakan karena laju lokomotif uap B25 hanya mampu merambat dalam kecepatan terbatas 15 kilometer per jam. Stasiun Ambarawa (Willem I) yang ada sekarang adalah bangunan kedua yang dibangun tahun 1907, menggantikan bangunan lama yang terbuat dari kayu.

KUIS
Apa sebutan untuk kepala penarik gerbong kereta api?

Bagi Tiga pengirim pertama yang mengirimkan jawaban dengan benar, akan mendapat bingkisan menarik. So kirim jawaban kamu secepatnya melalui kartu pos disertai kupon ke redaksi eL-Ka: Majalah SABILI, Jalan Cipinang Cempedak III No. 11A Polonia, Jakarta Timur 13340

Jawaban edisi 09/XVIII: Museum