Entri Populer

Senin, 31 Januari 2011

Museum Sudirman Kota Magelang Panglima Besar di Museum Mini





Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya.
Kota Magelang memiliki beberapa objek wisata museum, diantaranya Museum Bumi Putera, Museum Abdul Djalil, Museum BPK, Museum Diponegoro, serta Museum Sudirman. Dari jumlah tersebut hanya satu museum yang pengelolaannya berada di bawah Pemerintah Kota Magelang, yaitu Museum Sudirman.

Sob tahu, ternyata dulu museum ini digunakan sebagai rumah peristirahatan tentara yang pada masa perang kemerdekaan merupakan kediaman Jendral Sudirman, Panglima Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang pertama atau sebagian bapak Tentara Indonesia. Namun, sejak tahun 1976, gedung ini  dialih fungsikan sebagai Museum Jendral Sudirman.

Bangunan yang berdiri sekitar tahun 1930 tersebut, terdiri dari rumah utama dan ruang-ruang penunjang (service area) yang berada di belakang. Di belakang bangunan utama terdapat deretan kamar-kamar pejuang seperti, kamar Soepardjo Roestam ajudan Jenderal Sudirman, kamar mandi dan dapur. Sebagian diantaranya masih dalam tahap penyempurnaan, terdiri atas perpustakaan, beberapa wisma tamu, dan kamar mandi. Nah, kalau nanti bangunan ini selesai dilengkapi, barangkali suasana museum akan bertambah semarak ya Sob.

Museum ini menyimpan banyak cerita tentang kehidupan Jenderal Sudirman sebagai seorang suami dan ayah serta pemimpin tertinggi dalam kemiliteran. Seorang Jenderal yang tidak pernah menyerah pada penjajahan Belanda bahkan oleh penyakit yang dideritanya meski akhirnya harus menghembuskan nafas terakhirnya pada 29 Januari 1950 di Rumah Peristirahatan Tentara Badaan, Magelang.

Bagi masyarakat Magelang dan sekitarnya yang barangkali pernah mendengar atau mungkin malah pernah berkunjung ke sini, museum ini memang tergolong mini terletak di Jalan Ade Irma Suryani No C-7 atau tepat di sudut selatan Taman Badaan.

Kenapa di Magelang ya? Ini ngga lepas dari sejarah perkembangan tentara kita di masa revolusi. Bahkan jauh di masa awal pemerintahan kolonial Belanda, Magelang sudah menjadi kawah “candradimuka” penggodokan bagi calon tentara.

Magelang adalah kota terakhir perjuangan Panglima Besar (Pangsar) Sudirman, setelah pengembaraan gerilyanya di seputaran Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Paska Agresi Militer Belanda II pada tahun 1949, Sudirman yang kemana-mana ditandu karena sakit paru-paru akut bersedia dirawat di Magelang. Kemudian atas kehendak-Nya jua ia menghembuskan nafasnya pada bulan Januari 1950 di Bumi Tidar. Nah, gedung yang saat ini menjadi museum adalah rumah tempat almarhum wafat.

Sayangnya, museum nampak lengang dari aktifitas kunjungan. Sepinya pengunjung di museum ini, bisa jadi karena ketidaktahuan masyarakat, atau memang kesadaran masyarakat yang rendah akan penghargaan terhadap sejarah bangsanya. Padahal letak Museum Sudirman sangat strategis, lho. Di depannya ada Taman Badaan yang selalu rame pengunjung. Atau, mestinya pengelola bekerjasama dengan sekolah-sekolah untuk bergiliran mengunjunginya. 

Mengenal Sudirman

Hmm... siapa tak kenal nama Sudirman, Sang Panglima Besar TNI. Sejak SD kita sudah mendengar tekad dan semangat jiwa patriotisme tokoh tentara ini. Sudirman dilahirkan pada hari Senin, tanggal 24 Januari 1916 di Purbalingga, Banyumas. Beliau adalah putra dari Bapak Karsidi Pawiradji dan simbok Siyem. Karena keterbatasan ekonomi, ia kemudian diambil sebagai anak angkat oleh R Cokrosunaryo, Camat Rembang, Purbalingga. Atas bantuan orang tua angkatnya itulah Sudirman kecil bisa mengenyam dunia pendidikan.

Sudirman mengawali masa sekolahnya di HIS Gubernemen Purwokerto sampai kelas VII. Ia kemudian meneruskannya di pawiyatan Taman Siswa dan Wiworo Tomo karena kepindahannya ke Cilacap hingga lulus. Pendidikan MULO dijalaninya di Wiworo Tomo. Sudirman kecil menyukai petualangan. Ia memang termasuk siswa yang aktif dalam kegiatan di Hizbul Wathoni (Pramuka), sebuah organisasi kepanduan di bawah Muhammadiyah. Setelah  sekolahnya selesai,  ia kemudian mengabdikan diri sebagai guru di HIS Muhammadiyah Cilacap. Bahkan Pak Dirman pernah menjabat sebagai kepala sekolahnya.

Kedatangan Jepang di tanah air menyebabkan Sudirman ikut memanggul senjata bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA). Bahkan ia diangkat sebagai Daidanco PETA di Kroya. Di akhir pendudukan Jepang, ia diasingkan ke Bogor.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan beliau diangkat sebagai Kepala BKR Karesidenan Banyumas. Pada 5 Oktober 1945 diangkat sebagai Kepala TKR Banyumas Divisi V Purwokerto dengan pangkat Kolonel. Ia pun kemudian terpilih menjadi Pangsar TKR pada 12 November 1945 berpangkat Jenderal peletak dasar-dasar moral, mental, serta kepemimpinan dan kepribadian TNI.

Jendral Sudirman yang akrab dipanggil Pak Dirman ini terpilih karena terkenal sebagai komandan tentara yang bijak dan bersikap kebapakan. Sikap ini sudah ditunjukkan jauh sebelum ia menjadi tentara. Setamat pendidikan guru di HIK Mohammadiyah Solo tahun 1934, ia menjadi Kepala SD Mohammadiyah di Cilacap, sebelum Jepang menyerbu Indonesia. Sebagai kepala sekolah, ia bersikap terbuka, mau mendengarkan pendapat orang lain, dan selalu siap memberi jalan pemecahan terhadap setiap masalah yang timbul di kalangan para guru. Majalah Forum Keadilan edisi 9 Januari 2000 menyebutkan ia menjadi tenaga pengajar di sekolah menengah Mohammadiyah Cilacap, di mana ia juga aktif di organisasi Kepanduan Islam Hizbul Wathon.

Sudah sejak belia keteguhan hati Sudirman terpancar. Suatu malam di tengah dinginnya udara malam pegunungan Dieng, sekelompok pemuda Kepanduan Hisbul Wathon sedang berkemah. Ketika banyak rekannya yang meninggalkan perkemahan karena udara dingin yang menusuk, sebagai pemimpin kepanduan, Sudirman bertahan sampai pagi.

Jendral Sudirman adalah sosok patriotisme yang tidak kenal menyerah. Walau pun dalam keadaan sakit dan harus ditandu, sebagai Panglima Besar beliau menanamkan semangat juang yang tinggi dan secara langsung memimpin perang gerilya. Dengan adanya perlawanan yang tidak kenal menyerah itu akhirnya membuat Belanda meninggalkan Indonesia. Wah, semangat beliau patut di contoh ni Sob!


Mengenang Jejak

Pertempuran heroik yang pernah dipimpinnya diantara lain adalah Pertempuran Ambarawa dan Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Dalam kles kedua tersebut, ia memilih memimpin gerilya dengan keluar masuk hutan, turun naik gunung dan jurang daripada menyerah kepada Belanda, meskipun dalam keadaan sakit parah. Ia pernah dirawat di RS Panti Rapih, sebelum kemudian beristirahat di Magelang.

Tanggal 7 Mei 1949 ditandatangani pernyataan bersama Roem-Van Royen untuk menyelesaikan konflik bersenjata di meja perundingan. Dengan demikian, usai sudah perang antara Republik Indonesia dan Belanda. Panglima Sudirman memasuki kota Yogya lagi dari desa Ponjong tanggal 9 Juli 1949, setelah berfoto bersama dengan pembawa tandu terakhir yang dipakai menyeberangi Kali Opak dekat Piyungan.
Pada tanggal 27 Desember 1949, pemerintah Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia. Sayang, Pak Dirman tidak dapat menyaksikan hasil perjuangannya lebih lanjut. Kuman tuberkulosis yang semakin menggerogoti paru-parunya selama ia berbulan-bulan masuk keluar hutan akhirnya mengalahkannya. Pada tanggal 29 Januari 1950, beliau  meninggal dunia di Rumah Peristirahatan Tentara Badakan, Magelang. Pahlawan Kemerdekaan Nasional ini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.

Sudirman meninggalkan enam orang putra putri yang masih kecil saat itu. Keenam putra-putri beliau adalah Achmad Tidarwono, Didi Pratiastuti, Didi Suciastuti, Taufik Efendi, Didi Prijiati, dan Titi Wahyu Setyaningsih.

Biografi
Nama        : R.Sudirman
Lahir    : Senin,24 January 1916 atau dalam penanggalan Jawa 18 Maulud 1846 di Wuuku Galungan, Desa Bantar Barang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga.
Keluarga    : Istri: Siti Alifah, lahir : Senin 28 Desember 1920.  Putri: Mr.Sastroatmojo dari Cilacap.
                        Mereka mempunyai 3 anak laki-laki dan 4 perempuan.
Pendidikan    : HIS Mulo Wiwowro Tomo di Cilacap. Aktif dalam Kepanduan Bangsa Indonesia/KBI dan Hizbul Wathon/ HW
Meninggal    : Ahad 29 January 1950 pukul 18.30 WIB dalam usia 34 tahun Dimakamkan diPemakaman  Milliter Semaki Yogyakarta

Bintang Jasa Kehormatan/Kenegaraan :
•    Bintang RI Adipurna
•    Bintang RI Adipradana
•    Bintang Mahaputra Dipurna
•    Bintang Sakti
•    Bintang Gerilya,bintanag-bintang dan empat lencana-lencana. Kartika Eka Paksi Tingkat I. sebagai penghormatan atas jasa-jasa maka pada waktu wafat, pangkatnya dinaikan menjadi Jendral

Tidak ada komentar:

Posting Komentar