Entri Populer

Kamis, 25 Februari 2021

Jungkir, Alhamdulillah bisa Balik

Masjid Al Fattah Tasikmalaya, Berkhidmah
"Orang yang mengenal inti kehidupan selalu memandang dunia ini sebagai ujian"

(Syekh Muhammad Fathurahman)


TAFAKUR - Manusia yang berasal dari tanah, hidup di atas tanah. Ternyata bumi yang subur dan sejuk ini, di perutnya menyimpan magma. Dari inti bumi, uap panas itu disalurkan lewat gunung-gunung. Perumpamaannya seperti kita memasak air di teko, uap panas keluar dari lubang. Bayangkan kalau tidak ada lubang?  


Jadi sudah wataknya begitu maka jangan heran. Hidup panas bergolak adalah sebuah keniscayaan. Apalagi Indonesia letaknya secara geografis jalur gempabumi dunia. Negeri kita ini, merupakan daerah rawan gempa bumi karena dilalui oleh jalur pertemuan 3 lempeng tektonik, yaitu: Lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Ternyata di antara tanah rengkah yang kita pijak ada kesuburan alam yang bisa kita nikmati. Itu dari segi fisik. 


Kalau dari segi materi ada gunung-gunung sebagai pasak bumi. Dari segi batin juga ada pakubumi. Sehingga diantara panasnya gejolak sosial, hati kita tetap bisa hidup, tumbuh dan subur. Secara ruhani, orang-orang yang berzikirlah yang menjadi paku bagi bumi ini, sehingga hati kita menancap kuat. Seorang muslim tidak tergoyahkan oleh berbagai 'gempa sosial' yang terjadi. Seperti kita ketahui, salah satu tanda kewalian adalah lisannya tidak lupa berzikir. Secara hakikat mereka para waliyullah-lah yang menjadi pakubumi.   


Reformasi


Sebelum selesai kuliah di jurusan Jurnalistik Penulis sudah menikah. Kebayang deh betapa sibuknya (baca: beratnya). Harus berjuang untuk terus hidup, kuliah, keluarga plus organisasi. Belum lagi masalah fisik yang harus terjaga, fit. Salah menyikapi bisa stres berkepanjangan.   


Selesai kuliah keadaan pun  belum membaik. Sedangkan biaya hidup di Jakarta tau sendiri lah. Untuk nebeng orangtua jelas akan merusak keseimbangan harmonisasi keluarga besar.  Maka, terpaksa lah menyingkir dulu dari Jakarta, tinggal di Kampung asal orangtua, Kuningan. Beternak ayam dan hidup ala desa. Meski lebih banyak di Kuningan Tapi saya masih cari info kerjaan di Jakarta. 


Meledaklah reformasi. Rezim pun berganti, kran informasi terbuka lebar yang memungkinkan terbitnya media-media baru. Dari situlah peluang muncul, saya masuk menjadi wartawan dan berkibar. Dari jabatan paling rendah hingga menjadi Pimpinan. Padahal justru beberapa kawan mengalami keadaan sebaliknya, usaha mereka yang bergantung pada penguasa, ambruk . Siapa sangka?


Tengah-tengah saja; rindu langit, tapi tetap berpijak di bumi


Musibah itu ujian

Pandemi


Kini Pandemi keadaan pun layaknya gempa. Tatanan sosial berantakan, tak ada salam-salaman, Silaturahim terbatas, orang sakit takut tidak dibesuk hingga meninggal pun tak dilawat. Guru kehilangan murid, jalan jalan sepi. Orang-orang pada waspada, saling menjaga Jarak dan memilih di rumah saja.      


Awalnya, kita mendengar saja dari negeri-negeri nunjauh disana, tentang kematian akibat wabah ini. Tapi, kemudian rame di seantero negeri. Sekarang justru orang-orang yang kita kenal, bahkan sangat dekat satu persatu pergi meninggalkan kita. Wabah ini pun sudah memasuki tahun ketiga. Kota-kota sepi, pasar-pasar sepi bahkan masjid pun sepi.  Akan tetapi kebutuhan hidup yang paling standar harus tetap terpenuhi. Apalagi manusia sebagai mahluk sosial butuh bergaul, atau untuk sekadar menyapa sahabat. Semoga dari keadaan jungkir ini kita bisa balik lagi. 


Selain bencana pandemi Covid-19, ketika menulis artikel ini, kondisi Alam Indonesia dalam kondisi ekstrim, banjir, gempa dan longsor melanda. Namun, kita harus senatiasa kembangkan berpikir positif, begitulah cara alam menjaga keseimbangannya. Gunung meletus setelah itu orang-orang ramai mengambil keuntungan dari pasir yang dikeluarkan. Setahun kemudian petani menikmati tanah yang subur. 


Emil bersama Ust Solihin di Pedut
Ketika jogging pagi bersama anak-anak sambil menikmati segarnya udara pedesaan di Magelang, si Bungsu Emil nyeletuk, "Bi knapa ya kok Allah bikin gunung meletus mengeluarkan api lahar, jadi banyak orang mati. Coba yang dikeluarin donat atau kue-kue gitu...."


Celetukan itu, saya jawab sekadarnya ala bocah. Tapi, jawaban yang lebih mengesankan ketika Emil saya ajak ke Pedut Boyolali yang berada di lereng Merapi. "Lihatlah Mil, petani menikmati hasil panennya." Saya ke Pedut setahun setelah erupsi Merapi. Ternyata dengan meletusnya gunung, tanah sekitar mendapati kesuburannya kembali. Pasir dan batu yang dimuntahkan menjadi rezeki. 

 

Harap Harap Cemas


Ada berbagai cara untuk mencapai keseimbangan. Selain panas magma, bumi juga berputar pada porosnya dan bersama bulan mengitari matahari. Hal ini mengingatkan kita, tidak selamanya hidup ini berada terpuruk di bawah. Ketika kita sedang beraktivitas di siang hari, ada orang yang tengah berselimut gelapnya malam.  Jadi jangan takut malam, karena pasti ada siang. Sebaliknya, kesenangan dunia jangan digenggam, karena kita hidup di atas bumi yang intinya serupa bola panas. Tengah-tengah saja; rindu langit, tapi tetap berpijak di bumi. 


Begitulah hidup seorang muslim, bandul pendulumnya selalu seimbang bergerak antara roja dan khauf, antara harap dan cemas. Berharap pada Allah dan cemas karena takut bila Allah tidak meridhainya. Ketika diberi musibah, sabar sambil berharap pada pertolongan Allah SWT. Ketika mendapat nikmat bersyukur. Rasa syukur yang tak berlebih, tapi ada sedikit ruang khawatir dan jangan sampai nikmat itu bagian dari istidraj.  


Imam Al-Ghazali ditanya, Manakah yang lebih utama di antara sikap khauf dan raja`?

Sang Hujjatul Islam menjawab dengan nada bertanya, "Mana yang lebih enak, roti atau air?"


Beliau menerangkan, Bagi orang yang lapar, roti lebih tepat. Bagi yang kehausan, air lebih pas. Jika rasa lapar dan haus hadir bersamaan dan kedua rasa ini sama-sama besar porsinya, maka roti dan air perlu diasupkan bersama-sama.


Salman Al Farizi


Silakan klik:

Khadijah ra Cinta Sejati Rasulullah saw


Kisah Khadijah, Ummul-Mu`minĂ®n, meninggalkan kesan yang mendalam. Seluruh umat Islam, tak peduli sebesar apa pun perbedaan paham di antara mereka, mereka akan mencintainya sepenuh hati.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar