Bergaya Murah dan
Trendi
Oleh Eman
Mulyatman
Habis libur ngapain ya? Tentu konsentrasi kembali dengan
sekolah. Di ujung liburan kemarin. Kru Sahabat Alam menyempatkan diri ke
Tegalgubug Cirebon. Ada apa di Tegalgubug?
Dari Jakarta, awalnya kami berniat naik KA Cirebon
Ekspres. Tapi begitu sampai di stasiun Jatinegara, ternyata sudah penuh. “Ada
berdiri, tiketnya Rp 70.000,” kata petugas di loket.
Berdiri? Wah kalo begitu kami memilih jalan lain, dengan
bis. Dari staisun Jatinegara dengan menumpang mikrolet kami menuju terminal
Pulogadung. Tapi, kami tidak naik dari terminal ini melainkan terus nyambung
dengan angkot, menuju pintu Tol Cakung. Dari sini kami naik bis Luragung Jaya.
Sob, kalo kamu ingin tes adrenalin, silakan naik bis
jurusan Jakarta–Cirebon. Selain ngebut, suasana di dalamnya pun menguji
kesabaran. Pokoknya crowded banget. Ada tukang asongan, pengamen yang
tak berhenti turun naik dan amal jariah.
Kenapa ya, begitu? Ya karena bis Jakarta-Cirebon ini
dinaiki oleh para penglaju. Artinya oleh mereka yang memang bolak-balik usaha
antara Jakarta–Cirebon. Jadi sopirnya untung, karena bisnya menjadi favorit. Lihat
saja di kaca bis. Selain nama bis, tertulis juga nama julukannya. Ada Korawa,
Meteor, Relasi. Nah bis yang kami naiki berjuluk, Baraya.
Selain sopir, penumpang juga untung katanya bisa sampai
tepat waktu. Terus si pengusaha bis juga untung, karena bisnya jadi favorit.
Selain itu ada lagi yang diuntungkan, para oknum aparat. Katanya semakin banyak
pelanggaran semakin banyak setoran.
Hari itu kami membuktikan, ”Wah tampaknya sopir bis ini
urat malunya sudah dipotong,” kata rekan di samping. Bayangkan saja, ketika
macet seenaknya saja ngambil jalur kanan!
Setelah empat jam diguncang-guncang bis, perut pun terasa
keroncongan. Kami mencari makanan khas Cirebon Nasi lengko dan Empal Gentong.
Udara panas Pantura membuat kami tak berlama-lama di warung itu. Segera mencari
tempat shalat, wah ternyata fasilitas mushalla dan kamar kecilnya sedang krisis
air. Kami pun segera keluar pasar mencari masjid terdekat.
Pusat
Sandang
Daerah yang letaknya di Kecamatan Arjawinangun Kabupaten
Cirebon ini memang terkenal sebagai Pasar Induk Sandang. Jadi kalau Sob ingin beli
pakaian dengan harga murah, datang saja ke Tegalgubug. Selain murah modelnya
juga baru.
Seperti Jilbab, tersedia model mengikuti selera penonton
sinetron. Ada jilbab Ayat-Ayat Cinta, Azizah (sinetron Azizah), Ketika Cinta
Bertasbih, Che che, Marisa, Inneke, Hingga Teh Ninih. Pokoknya trendi banget
deh.
Tak heran bila barang-barang di Pasar Tegalgubug sangat
laku. Namanya saja Gubug. Tapi, jangan salah sangka perputaran uang di pasar
ini bisa mencapai kurang lebih Rp 5 miliar untuk setiap harinya. Dengan
demikian, jika dihitung satu bulan, maka perputaran uang di pasar ini bisa
mencapai kurang lebih Rp 40 miliar. Subhanallah.
Menurut Ustadz Hayani, salah seorang pedagang di
Tegalgubug, Dibukanya pasar pada Hari Selasa dan Sabtu memang sudah
kesepakatan. Waktu di luar pasaran itu dimanfaatkan untuk memenuhi pesanan.
Karena pasar ini kelasnya nasional, bahkan internasional. “Kalo saya di pasar,
terus kapan bisa silaturahim?” katanya.
Ustadz Yani, begitu pria ini biasa disapa, memulai usaha
pada 2000 silam. Modal awalnya hanya kepercayaan. “Saya ikut orang dulu selama
setahun,” katanya.
Meski sempat mengalami kerugian karena tertipu, kini
Ustadz Yani sudah memiliki empat orang karyawan. Ketika ditanya omsetnya dengan
malu-malu dia memilih Sahabat Alam untuk menebaknya. Di atas 100 juta sekali
pasaran ya? “Ya kira-kira di atas itu sedikit,” katanya.
Tegalgubug masih mengikuti pola pasar tradisional,
bukanya hari Selasa dan Sabtu. aktivitas perdagangan bahan sandang tersebut
telah mampu mengubah tingkat perekonomian warga Desa Tegalgubug. Dari pasar ini
ada profesi tambahan selain menjahit. Yaitu ojek, kuli panggul atau berjualan
makanan.
Nah kalo kamu ingin punya baju lebaran yang trendy datang
aja ke Tegalgubug. Pesan kami, harus berani nawar ya. Supaya kamu enggak
kecewa.
BOX
Asal mula
Salah seorang tokoh masyarakat setempat, Ir H Maslani
Samad (47), menjelaskan, sejarah Pasar Tegalgubug dimulai sekitar tahun 1914.
Saat itu, warga setempat menggantungkan hidupnya dengan membuat dan menjual
kemben, yakni perlengkapan kebaya kaum perempuan pada masa itu. Pasalnya, kaum
perempuan di Tegalgubug memang mahir dalam menjahit. Para pembeli kemben itu
berasal dari luar wilayah Cirebon. Mereka berdatangan dengan menggunakan pedati
pada malam hari.
Seiring berlalunya waktu, aktivitas perdagangan di Pasar
Tegalgubug pun terus berjalan. Namun, aktivitas perdagangan itu belum dapat
meningkatkan perekonomian masyarakat setempat. Karenanya, kaum lelaki di desa
tersebut lantas merantau ke Bandung untuk menjadi tukang becak. Tahun 1960-an,
di Bandung mulai menjamur industri tekstil. Seringkali, pabrik-pabrik tekstil
itu membuang sisa-sisa kain yang tidak mereka gunakan.
“Melihat hal itu, para tukang becak yang berasal dari
Tegalgubug memungut sisa-sisa kain tersebut dan membawanya pulang. Mereka yakin
kain-kain itu dapat dimanfaatkan bila diolah lebih lanjut oleh istri mereka
yang memang pandai menjahit,” ujar H Maslani.
Keyakinan para tukang becak itu memang tidak keliru.
Kain-kain sisa yang telah dijahit menjadi pakaian jadi itu, sangat laku dijual
di Pasar Tegalgubug. Bahkan, permintaan pun terus meningkat hingga akhirnya
mereka tak lagi hanya menggunakan kain sisa untuk dijahit menjadi pakaian jadi,
melainkan juga membeli kain secara utuh.
Melalui promosi dari mulut ke mulut, keberadaan Pasar
Tegalgubug pun semakin dikenal. Apalagi, lokasinya yang terletak di sisi jalur
utama pantura penghubung Jakarta dan Jateng, menjadikan Pasar Tegalgubug sangat
mudah untuk dijangkau oleh para pembeli yang datang dari berbagai daerah.
Tercatat, ada sekitar 5.000 pedagang yang kini berjualan di Pasar Tegalgubug.
No hp
BalasHapus